Kamis, 04 Desember 2014

Mahasiswa FKIP UNDANA dan Ketua Umum Forum Komunikasi Mahasiswa FKIP se-NTT

| No comment
Persoalan dunia pendidikan bukanlah menjadi sesuatu yang tabu. Telah menjadi konsumsi semua pihak dan imbasnya, semua pihak pun dengan prinsip demokrasi hadir dan berupaya memberikan kontribusi dalam upaya menjawab tantangan dalam dunia pendidikan. Dunia pendidikan di Provinsi NTT dalam perjalanannya dihadang oleh banyaknya persoalan-persoalan yang menyebabkan rendahnya mutu dan kualitas. Jika kita berpatokan pada hasil Ujian Nasional yang dipakai Pemerintah sebagai Indikator pengukur mutu dan kualitas pendidikan, maka kita akan kandas pada rendahnya mutu dan kualitas pendidikan di NTT.


Persoalan Pendidikan
Rendahnya mutu pendidikan di NTT diakibatkan oleh banyaknya persoalan-persoalan seperti, pertama, persoalan pendidik yakni kekurangan jumlah, distribusi guru tidak seimbang, kualifikasi di bawah standar, kurang berkompeten, ketidaksesuaian antara kualifikasi pendidikan dan bidang yang diampu. Angka putus sekolah yang relatif tinggi, angka partisipasi sekolah yang rendah, kurang memadainya fasilitas penunjang pembelajaran seperti laboratorium, perpusakaan, serta peran masyarakat
Pengkajian penulis lebih kepada persoalan pendidik dalam hal ini guru yang selalu menjadi penyebab rendahnya mutu pendidikan oleh berbagai kalangan. Jika kita mengkaji upaya pemerintah melalui kebijakan pendidikan mengatasi persoalan pendidik, maka orientasinya lebih kepada proyek. Kebijakan mengenai Program Sertifikasi, Pendidikan Profesi Guru (PPG), SM-3T, dan lain sebagainya, hanyalah proyek semata yang membuang-buang investasi dan anggaran. Solusi ini pun tidak tepat sasaran, baik itu berkaitan dengan substansi persoalan maupun efektivitas pelaksanaan. Kebijakan ini hanya membuat guru terjebak dalam formalitas.

Pertanyaannya, apakah sertifikasi guru dapat meningkatkan kompetensi guru? Persoalan yang mengemuka adalah kompetensi antara guru yang sudah dan yang belum tersertifikasi tidak signifikan perubahannya, malah ada yang mengatakan kinerja guru yang sudah tersertifikasi menjadi melemah dari sebelumnya. Di luar untuk meningkatkan kompetensi dan kesejahteraan guru, menurut penulis, yang jauh lebih penting dari itu adalah dengan adanya sertifikasi seharusnya dapat membangun kewibawaan profesi guru dan LPTK sebagai produsen mendidik. Selain itu, arti dari sertifikasi juga harus dipertimbangkan, dengan demikian yang harus disertifikasi adalah guru yang bukan keluaran LPTK.

Kompetensi yang harus dimiliki guru seperti yang tercantum dalam UU, harus sudah dibentuk sejak calon guru berada di bangku kuliah. Jadi bisa dikatakan, kompetensi guru harus sejalan dengan peningkatan kualitas LPTK. Sertifikasi bukanlah satu-satunya jalan untuk meningkatkan kompetensi guru dan penghasilan juga bukanlah satu-satunya alasan yang membuat kompetensi guru rendah. Terbukti ada guru yang tetap kreatif mengajarkan peserta didiknya walaupun secara penghasilan sangatlah minim. Mencintai ilmu dan peserta didiklah, sejatinya dua hal yang membuat seorang guru dapat terus berkreatif, inovatif, dan mengembangkan kompetensinya, walaupun rupiah yang didapatkan tidak sebanding dengan tetesan keringat.

Tuntutan untuk menghasilkan guru yang profesional, mengharuskan LPTK penyelenggara memiliki visi yang jelas dengan dilandasi prinsip good governance dan memiliki kapasitas yang menjamin profesionalitas lulusannya. Dengan kata lain kapasitas LPTK penyelenggara baik sumber daya manusia, yaitu dosen, tenaga kependidikan dan tenaga pendukung lainnya, maupun sarana dan prasarana, berbagai perangkat keras dan perangkat lunak harus tersedia dengan baik. Di samping itu harus disiapkan secara sungguh-sungguh hal-hal lain yang menjamin mutu suatu program pendidikan termasuk seleksi calon mahasiswa, kurikulum, suasana akademik, penetapan tuntutan kelulusan dan prosedur evaluasi yang objektif dan transparan dengan didukung oleh suatu sistem penjaminan mutu PPG.

Melalui regulasi ini pun, menjadi keharusan bagi guru untuk memiliki sertifikat pendidik yang didapatkan melalui program PPG. Seperti halnya kajian terhadap sertifikasi guru, bagi penulis, kompetensi guru bukanlah diukur di atas sebuah kertas sertifikat. Program PPG hanya akan menambah jenjang pendidikan semata, akan membuat guru terjebak pada formalitas. Upaya yang lebih tepat adalah dengan efisiensi LPTK-LPTK yang ada sebagai lumbung penghasil guru atau dengan kata lain Revitalisasi LPTK menjadi sebuah keharusan yang mutlak. Jika memang kurikulum, tenaga pengajar dan substansi penyelenggaraan PPG dianggap mampu menjawab kompetensi guru, maka lebih tepat adalah implementasi kedalam pelaksanaan pada LPTK-LPTK yang ada. Revitalisasi dari segi kurikulum, perekrutan calon mahasiswa LPTK, pendanaan, tenaga pengajar, fasilitas dan lain sebagainya lebihlah tepat dalam menjawab persoalan guru. Indikasi yang muncul adalah LPTK tidak becus mempersiapkan guru. Dan, hal ini memang disadari telah menjadi bagian dari LPTK dari penerapan kurikulum. Poin pentingnya adalah “pendidikan” berbeda dengan “ilmu”. Kurikulum saat ini di LPTK jauh dari konsep pendidikan guru. Kemampuan guru dalam pembelajaran di kelas, menguasai kelas, menciptakan pembelajaran yang menyenangkan haruslah menjadi dasar pelaksanaan kurikulum di LPTK.

Persoalan lain mengenai pendidik adalah kekurangan guru dan distribusi guru yang tidak seimbang. Yang menarik adalah upaya pemerintah mengatasi persoalan ini adalah dengan mendatangkan 1.600 sarjana pendidikan melalui program SM-3T. Yang perlu dijadikan dasar analisis persoalan adalah bahwa ada perbedaan antara kekurangan guru karena memang NTT tidak punya sumber daya dan kekurangan guru tetapi NTT memiliki sumber daya guru yang memadai. Yang terjadi di NTT adalah kekurangan guru, tetapi sumber daya guru memadai, karena setiap tahunnya sekitar 13 LPTK di NTT menghasilkan lulusan yang siap ditempatkan didunia pekerjaan. Untuk mengatasi kekurangan guru, maka upaya yang tepat adalah dengan mengangkat guru nonPNS atau dengan memberdayakan tamatan-tamatan LPTK di NTT yang masih menganggur. Pemerintah punya peran dalam melakukan lobi ke pusat, sehingga melalui persoalan kekurangan guru ini, pemerintah pusat dapat melakukan kebijakan pemberhentian moratorium PNS khusus untuk tenaga pendidik pada daerah berkekurangan sehingga bisa mengatasi persoalan ini. Persoalan lainnya adalah dinas teknis tidak mempunyai database yang jelas mengenai ketersediaan guru, ditambah analisis kebutuhan yang menghasilkan asumsi kekurangan atau kelebihan guru menggunakan rumusan perhitungan yang salah. Kesalahan dimaksudkan adalah rumusan perhitungan baku mengenai kebutuhan guru yaitu rasio mengajar guru dan siswa. Surat Keputusan Bersama (SKB) 5 Menteri tentang Pemerataan Pemenuhan Kebutuhan Guru sampai saat ini tidaklah dijalankan oleh Dinas PPO NTT. Berulang kali melalui Forum Komunikasi Mahasiswa FKIP se-NTT menyuarakan pelaksanaan SKB ini, tetapi sampai saat ini tidaklah digubris. Perubahan mind set pengelolaan dan pengkajian terhadap upaya peningkatan mutu pendidikan di NTT perlu diarahkan kembali kepada hakikat pendidikan sebagai humanisasi. Ini menjadi pekerjaan rumah yang sangat mendesak demi perubahan kearah yang lebih baik. “majulah negeriku, majulah pendidikanku, sejahteralah rakyatku”.
*) Tulisan ini sebelumnya dimuat dalam kolom Opini pada Harian Umum Victory News (Senin, 2 Juli 2012) dan dimuat ulang sebagai bahan diskusi.
Tags :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Popular Posts

Accordition